Rupiah Melemah Dekati Level 1998

Rupiah Melemah Dekati Level 1998

Rupiah Melemah Dekati Level 1998
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M. Juhro saat Taklimat Media di kantornya, Jakarta, Rabu (26/3/2025).

JAKARTA, BLINDEYES – Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan, mendekati level terendah yang pernah tercatat sejak krisis moneter 1998. Meskipun demikian, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan situasi di tahun 1998.

Pada perdagangan Selasa (25/3/2025), rupiah ditutup pada level Rp 16. 622 per dolar AS, hampir menyentuh angka terendah dalam sejarah, yaitu Rp 16. 900 per dolar AS yang tercatat pada 17 Juni 1998.

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah kali ini terjadi secara bertahap, berbeda dengan krisis 1998 yang ditandai oleh penurunan nilai tukar yang drastis dalam waktu singkat.

“Jika kita lihat kembali, saya dapat katakan bahwa kondisi saat ini jauh berbeda dari tahun 1998,” ujarnya dalam Taklimat Media di Jakarta, Rabu (26/3/2025).

Perbandingan Kondisi Saat Ini dengan 1998


Pada 1998, nilai rupiah terjun bebas dari di bawah Rp 10. 000 per dolar AS langsung meloncat ke Rp 16. 000 per dolar AS dalam waktu singkat. Saat ini, depresiasi rupiah terjadi secara bertahap, dimulai dari kisaran Rp 15. 000 per dolar AS. Selain itu, krisis 1998 juga ditandai oleh kerentanan ekonomi yang tidak dapat diatasi pemerintah, yang berujung pada resesi. Pada saat itu, cadangan devisa Indonesia hanya sekitar 20 miliar dolar AS.

Kini, kondisi jauh lebih terkelola dengan cadangan devisa mencapai 154,5 miliar dolar AS per akhir Februari 2025. “Dulu, kerentanan di sektor keuangan dan utang tidak terdeteksi dengan baik. Sekarang, BI dan pemerintah memiliki mekanisme yang lebih solid untuk mengidentifikasi potensi pelemahan ekonomi,” jelas Solikin.

Fundamental Ekonomi Indonesia Masih Kuat


Dari segi makroekonomi, Indonesia berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan situasi pada tahun 1998. Indikator seperti produk domestik bruto (PDB), inflasi, kredit, permodalan, dan saldo transaksi berjalan menunjukkan stabilitas yang memadai. Meskipun demikian, BI dan pemerintah terus memantau perkembangan ekonomi global dan domestik dengan cermat, termasuk faktor sosial, politik, serta kemajuan teknologi yang dapat memicu ketidakstabilan. “Krisis bisa muncul dari faktor di luar ekonomi, seperti masalah operasional atau perkembangan teknologi digital. Oleh karena itu, penanganan krisis harus dilakukan secara terintegrasi,” tutupnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *