
CERITA HOROR – Desa Jurupende, sebuah desa kecil di kaki bukit yang tenang dan dikelilingi pepohonan lebat, tampaknya tak banyak dikenal orang di luar daerah. Tapi di balik ketenangannya, ada satu tempat yang jarang disentuh oleh penduduk—kosan putri di ujung jalan Makam Lama, sebuah bangunan tua yang dulu bekas rumah dinas guru zaman Belanda, kini disulap menjadi tempat tinggal bagi mahasiswi dari kota yang menempuh kuliah di kampus kecil dekat desa itu.
Orang-orang desa menyebutnya “Kos Mak Marnah”, sesuai nama pemiliknya. Seorang wanita tua dengan mata sayu dan suara lirih yang katanya dulunya adalah dukun bayi. Ia tinggal di rumah utama di samping bangunan kos. Bangunan kosnya sendiri memiliki lima kamar. Kamar satu sampai tiga hampir selalu terisi. Tapi kamar nomor empat—selalu kosong. Bukan karena tidak laku, tapi karena setiap orang yang tinggal di sana tak pernah bertahan lebih dari tiga malam.
Pendatang Baru Bernama Dita
Cerita horor ini dimulai ketika Dita, seorang mahasiswi semester awal dari luar kota, datang mencari kosan. Ia tidak tahu cerita-cerita lama tentang tempat itu. Ketika ditawari kamar nomor dua, ia menolak karena dekat kamar mandi. Kamar tiga katanya terlalu pengap. Kamar lima katanya terlalu dekat dapur. Jadi ia memilih kamar yang paling tenang di tengah-tengah: kamar nomor empat.
Mak Marnah sempat terdiam. “Kamar itu sudah lama kosong, Nak,” katanya pelan. Tapi Dita bersikeras. Ia suka posisinya yang berada di tengah, lebih adem dan dekat jendela. Setelah beberapa saat berpikir, Mak Marnah pun menyerah.
Malam pertama, Dita sempat merasa sedikit aneh. Seperti ada suara gemerisik dari atas plafon. Tapi ia pikir itu cuma tikus atau mungkin suara dari kamar sebelah. Ia tertidur sambil menyalakan lampu meja kecil di samping ranjang.
Malam Kedua: Ketukan dan Bisikan
Pada malam kedua, suasana mulai berubah. Sekitar jam 2 dini hari, Dita terbangun karena mendengar ketukan di pintu. Ia sempat berpikir mungkin temannya ingin pinjam sesuatu. Tapi saat ia buka pintu, tidak ada siapa-siapa. Lorong kos sepi, lampu lorong redup berkedip, dan udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Ia kembali ke kamar dan mencoba tidur lagi. Tapi kali ini ia mulai mendengar suara bisikan. Suaranya pelan, seakan berasal dari balik tembok kamarnya. Seperti suara perempuan yang menangis sambil berkata:
“…jangan buka jendelanya… dia belum pergi…”
Dita membeku. Ia tahu ia tidak berhalusinasi. Ia mendengar suara itu dengan jelas, dari balik tembok sebelah kanan—padahal kamar sebelah kosong.
Ia berusaha tidak panik dan menutup telinganya dengan bantal, sampai akhirnya tertidur dalam ketakutan.
Malam Ketiga: Jendela yang Terbuka Sendiri
Hari ketiga, Dita mencoba mengabaikan semuanya. Ia tidak cerita ke siapa pun. Tapi rasa takut itu tetap menggantung seperti kabut yang tak mau hilang. Ia merasa diperhatikan terus-menerus. Dan ada bau anyir yang muncul di kamar saat malam mulai turun—bau besi, seperti darah.
Malam itu, sekitar pukul 1.30 pagi, Dita terbangun karena jendelanya terbuka sendiri. Padahal ia yakin sudah menutup rapat dan menguncinya. Tirainya melambai pelan, dan dari luar hanya gelap pekat.
Tiba-tiba, ia melihat bayangan seseorang berdiri di luar jendela, tubuhnya tinggi, rambutnya panjang menutupi wajah, dan kepalanya sedikit miring ke kiri. Tapi yang paling mengerikan, bayangan itu tidak bergerak sama sekali. Tidak berkedip. Tidak melambai. Hanya diam seperti patung.
Dita tak berani mendekat. Ia hanya menatap dengan tubuh gemetar, lalu menjerit sekuat tenaga.
Mak Marnah datang berlari, bersama dua penghuni kos lainnya. Saat mereka masuk ke kamar, jendela sudah tertutup kembali. Tidak ada apa-apa di luar. Tapi saat Mak Marnah melirik ke atas lemari, wajahnya berubah.
“Kamu sudah dibukakan jalannya…” bisiknya.
Rahasia di Balik Kamar Nomor Empat
Keesokan harinya, Dita meminta pindah kamar. Tapi sebelum pergi, ia mendesak Mak Marnah menceritakan kebenarannya.
Dengan suara pelan dan mata menerawang, Mak Marnah akhirnya bercerita. Dulu, ketika rumah itu masih rumah tinggal, kamar nomor empat adalah kamar anak bungsunya, Lila. Gadis pendiam, penurut, tapi sering sakit-sakitan. Suatu malam, Lila hilang dari kamarnya. Mereka mencari ke mana-mana, tapi tidak ditemukan.
Dua hari kemudian, tubuh Lila ditemukan menggantung di pohon beringin belakang rumah. Sejak saat itu, kamar itu tidak pernah sama lagi. Penghuni pertama yang menempati kamar itu setelah kejadian, konon sempat kerasukan dan berteriak-teriak menyebut nama Lila sambil menangis. Beberapa mengaku sering melihat sosok perempuan berdiri di jendela, menatap keluar seolah menunggu sesuatu.
Mak Marnah sudah berusaha membersihkan kamar itu dengan berbagai cara. Tapi setiap kali ada yang masuk dan tidur lebih dari tiga malam, Lila akan datang.
Akhir Cerita Horor yang Tak Benar-Benar Selesai
Dita akhirnya pindah ke kamar dua. Tapi selama sisa bulan-bulan tinggal di kos itu, ia selalu tidur dengan lampu menyala. Ia tak pernah lagi lewat lorong kamar nomor empat saat malam. Dan setiap kali melewati jendela kamar itu, ia merasa ada sesuatu yang mengintip dari balik tirai lusuh.
Kamar itu kini kembali kosong. Tak ada yang berani menempatinya lagi.
Tapi kadang… saat malam sunyi, suara bisikan pelan masih terdengar dari balik tembok:
“…jangan buka jendelanya… dia belum pergi…”