Review Drama: When Life Gives You Tangerines

Review Drama: When Life Gives You Tangerines
Review When Life Gives You Tangerines: drama ini menyajikan banyak percakapan soal kehidupan yang nyatanya berubah menjadi bahan kontemplasi diri sendiri. (Netflix/Yoo Eun-mi)

Bagi saya, menonton drama Korea dengan genre slice of life sering kali membuat saya merasa ragu. Banyak dari cerita yang disajikan terasa monoton. Namun, pengalaman saya berbeda ketika menyaksikan kehidupan IU sebagai Ae-sun dalam drama “When Life Gives You Tangerines“.

Penulis Lim Sang-choon berhasil menyusun alur cerita yang bergerak maju mundur, dengan berbagai adegan yang menggugah pikiran saya, terutama sebagai seorang ibu dari seorang putri. Drama ini membawa penonton untuk menyelami kehidupan masyarakat Pulau Jeju pada dekade 50-an, ketika Korea Selatan masih asing di mata dunia, dalam kondisi yang miskin dan dilanda krisis ekonomi.

Salah satu aspek yang mungkin bisa dirasakan oleh perempuan di luar Korea Selatan adalah realita perjuangan perempuan untuk bertahan di tengah masyarakat yang begitu patriarkis. Namun, di balik segala kesulitan yang membebani kehidupan, drama ini mengingatkan kita akan adanya harapan-harapan kecil dan momen-momen sederhana yang seharusnya kita syukuri.

Sejak awal, kisah Ae-sun telah membuat saya terharu. Cerita tentang perjuangannya menghadapi kemiskinan, kuatnya patriarki, ketidakadilan dalam akses pendidikan untuk perempuan, serta kehidupan setelah menikah yang tak jauh lebih baik, sungguh menyentuh hati.

Review Drama: When Life Gives You Tangerines
Review Drama When Life Gives You Tangerines: Lim Sang-choon sudah membuat pelupuk mata saya basah sejak awal dengan kisah Ae-sun. Mulai dari bergelut dengan kemiskinan, patriarki yang kental, ketimpangan kesempatan pendidikan untuk perempuan, hingga kehidupan setelah menikah yang tak jauh lebih baik. (dok. Baram Pictures/PAN Entertainment/Netflix via IMDb)

Serial ini juga memperlihatkan upaya keras Ae-sun dan Gwan-sik untuk keluar dari belenggu kemiskinan. “When Life Gives You Tangerines” menunjukkan bahwa kemiskinan adalah masalah struktural yang tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras seseorang bekerja. Dalam kasus Ae-sun dan Gwan-sik, meski mereka berusaha keras, mereka tetap terjebak dalam kemiskinan tersebut, dan budaya patriarki yang mengakar di Korea Selatan membuat penderitaan mereka semakin kompleks.

Review When Life Gives You Tangerines

Namun, di tengah perjuangan mereka, Lim Sang-choon berhasil menggambarkan Gwan-sik sebagai sosok suami dan ayah yang ideal. Ia selalu mendukung Ae-sun meski berbagai cobaan menghimpit. Gwan-sik dan Ae-sun memiliki visi yang sama untuk memastikan putri mereka tidak hidup dalam kemiskinan.

Lim Sang-choon juga menunjukkan sosok laki-laki yang berbakti ketika Gwan-sik melindungi putri mereka, Geum-myeong, dari cemoohan calon mertuanya yang merendahkan kemampuan perempuan pada zamannya. Kisah ini berhasil menyentuh hati saya, mengingatkan kita bahwa baik perempuan maupun laki-laki, anak adalah harta yang paling berharga. Sebagai orang tua, kita seharusnya menjadi dukungan pertama dan pemberi validasi untuk anak-anak kita.

Review Drama: When Life Gives You Tangerines
Review When Life Gives You Tangerines: drama ini menyajikan banyak percakapan soal kehidupan yang nyatanya berubah menjadi bahan kontemplasi diri sendiri. (Netflix/Yoo Eun-mi)

Di sisi lain, Lim Sang-choon menggambarkan hubungan yang kompleks antara Ae-sun dan Geum-myeong, terutama dalam konteks harapan orang tua agar anak mereka memiliki kehidupan yang lebih baik. Anak tengah mereka, Eun-myeong, juga diceritakan dengan baik. Meskipun dianggap nakal karena kurang menonjol dibandingkan kakaknya, Eun-myeong mengingatkan kita bahwa perilaku nakal sering kali adalah cara anak-anak mencari perhatian dan kasih sayang.

Dengan berbagai cerita yang disajikan, “When Life Gives You Tangerines” menghadirkan banyak dialog tentang kehidupan yang dalam beberapa episode akhir mengarah pada refleksi diri. Salah satu pernyataan yang menggugah adalah, “Kami kurang memperhatikan ayah karena berpikir dia selalu akan ada. “
Seringkali kita menganggap bahwa orang-orang di sekitar kita akan selalu hadir dalam hidup kita. Namun, suatu saat mereka bisa saja tiada, meninggalkan kita hanya dengan kenangan yang seiring waktu bisa memudar.

Saya sangat mengagumi IU dan Park Bogum, terlebih karena chemistry mereka sebagai pasangan sangat menonjol. IU harus menjalani dua peran, yaitu sebagai Ae-sun muda dan Yang Geum-myeong yang dewasa.

Drama ini dapat menjadi sarana untuk merenungkan kehidupan yang kita jalani saat ini. Hubungan dengan pasangan, orang tua, anak, dan diri sendiri. Meskipun kita menghadapi tantangan tersendiri di tengah situasi dunia yang rumit, selalu ada seberkas berlian kehidupan yang tersembunyi dan layak untuk disyukuri.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *